Syekh Ibnu Athoillah as-Sakandary.
“Tirai itu terbagi dua; Tirai dari maksiat, dan tirai di dalam maksiat. Umumnya orang mencari tirai dari Allah Ta’ala, agar tertirai di dalam
maksiat, karena takut martabatnya jatuh di mata publik. Sedangkan kalangan khusus mencari tirai dari maksiat, karena takut bila gugur dari pandangan Sang Maha Diraja Al-Haq.”
Orang yang bermaksiat kebanyakan ingin tertutup dari makhluk, bisa karena malu, atau karena gengsi ataupun karena takut harga dirinya jatuh. Tirai atau tutup itu disebut sebagai tutup di “dalam maksiat”. Bagi kalangan ini, tutup di dalam maksiat berarti tidak memandang Allah swt, namun lebih memandang kepentingan derajat makhluk atau harga diri kemakhlukan.
Disinilah orang yang maksiat ini tidak memandang celaan dari Allah Ta’ala – awal hingga akhirnya – dan menumbuhkan riya’, berbagus diri di hadapan makhluk, bukan di hadapan Allah Ta’ala. Hal demikian disebabkan oleh pendeknya himmah mereka dan minimnya iman mereka.
Sedangkan kalangan khusus, sejak awal justru lari dari maksiat, kalau toh pun mereka mencari tirai, itu karena dalam proses perjalanannya, ingin sekali terhindar dari maksiat. Dalam konteks inilah disebut mencari “tutup dari maksiat”. Mereka bermotivasi agar terhindar dari maksiat, ada beberapa kategori:
1. Bisa mencari tutup karena takut akan siksaNya.
2. Bisa mencari tutup karena takut akan hijabNya. Dan,
3. Bisa karena takut akan kehilangan pahala dariNya.
Ada pula mencari tirai karena khawatir terlempar dari pintuNya; atau dari sisiNya, dan sebagainya, dan semua itu kembali karena ketakutan kalangan khusus ini jika tidak dipandang lagi oleh Allah Ta’ala. Karena mereka bisa kehilangan banyak kebajikan, sekaligus banyak keburukan tiba.
Yang paling agung adalah mereka mencari tutup dari maksiat karena rasa takut luar biasa akan Kharisma Ilahi, karena rasa malu, rasa mengagungkan kepadaNya. Bahkan seandainya Allah Ta’ala mengampuni semua
dosa-dosanya sekalipun, rasa malunya kepada Allah Ta’ala serasa tak pernah sirna. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Fudhail bin ‘Iyadh ra, “Duh betapa malunya kepadaMu…walau Engkau telah mengampuni…”
Bila saja faktor penghambat maksiat itu justru dating karena tirai dari maksiat, maka jika makhluk lain memuliakan anda, tetap saja kembali pada TiraiNya, bukan pada diri anda, baik anda orang yang taat maupun anda orang yang maksiat. Makanya Ibnu Athaillah mengingatkan:
“Siapa pun yang memuliakan anda , sesungguhnya ia telah memuliakan yang ada di dalam dirimu berupa keindahan TiraiNya. Karena itu pujian seharusnya kepada yang menutupi anda, dan pujian bukan pada orang yang memuliakan anda atau bukan kepada yang mengucapkan terimakasih kepada anda.”
Banyak orang balik memuji orang yang memuji anda atau berterimakasih pada anda. Padahal seharusnya pujian itu kepada yang menutupi aib dan kekuarangan anda, yaitu Allah Rabbul Izzah Ta’ala. Karena tanpa tirai tutupnya yang indah pada anda, tak satu pun menghargai dan mengormati anda.
Karena itu ada pepatah Sufi yang indah: “Di sana tak ada lain kecuali karena karuniaNya, dan tak ada kehidupan melainkan karena ada dalam tiraiNya. Jika saja tirai itu dibuka, pastilah terbuka cacat besar yang tiada tara.”
Manusia itu, pada aslinya adalah tempatnya kurang dan cacat. Baik orang tersebut ahli ibadah maupun ahli maksiat. Baik orang itu sedang mendapatkan nikmat atau cobaan.
Maka kita wajib memuji Allah swt, yang menutupi diri kita dengan tutupNya yang indah itu.
“Tirai itu terbagi dua; Tirai dari maksiat, dan tirai di dalam maksiat. Umumnya orang mencari tirai dari Allah Ta’ala, agar tertirai di dalam
maksiat, karena takut martabatnya jatuh di mata publik. Sedangkan kalangan khusus mencari tirai dari maksiat, karena takut bila gugur dari pandangan Sang Maha Diraja Al-Haq.”
Orang yang bermaksiat kebanyakan ingin tertutup dari makhluk, bisa karena malu, atau karena gengsi ataupun karena takut harga dirinya jatuh. Tirai atau tutup itu disebut sebagai tutup di “dalam maksiat”. Bagi kalangan ini, tutup di dalam maksiat berarti tidak memandang Allah swt, namun lebih memandang kepentingan derajat makhluk atau harga diri kemakhlukan.
Disinilah orang yang maksiat ini tidak memandang celaan dari Allah Ta’ala – awal hingga akhirnya – dan menumbuhkan riya’, berbagus diri di hadapan makhluk, bukan di hadapan Allah Ta’ala. Hal demikian disebabkan oleh pendeknya himmah mereka dan minimnya iman mereka.
Sedangkan kalangan khusus, sejak awal justru lari dari maksiat, kalau toh pun mereka mencari tirai, itu karena dalam proses perjalanannya, ingin sekali terhindar dari maksiat. Dalam konteks inilah disebut mencari “tutup dari maksiat”. Mereka bermotivasi agar terhindar dari maksiat, ada beberapa kategori:
1. Bisa mencari tutup karena takut akan siksaNya.
2. Bisa mencari tutup karena takut akan hijabNya. Dan,
3. Bisa karena takut akan kehilangan pahala dariNya.
Ada pula mencari tirai karena khawatir terlempar dari pintuNya; atau dari sisiNya, dan sebagainya, dan semua itu kembali karena ketakutan kalangan khusus ini jika tidak dipandang lagi oleh Allah Ta’ala. Karena mereka bisa kehilangan banyak kebajikan, sekaligus banyak keburukan tiba.
Yang paling agung adalah mereka mencari tutup dari maksiat karena rasa takut luar biasa akan Kharisma Ilahi, karena rasa malu, rasa mengagungkan kepadaNya. Bahkan seandainya Allah Ta’ala mengampuni semua
dosa-dosanya sekalipun, rasa malunya kepada Allah Ta’ala serasa tak pernah sirna. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Fudhail bin ‘Iyadh ra, “Duh betapa malunya kepadaMu…walau Engkau telah mengampuni…”
Bila saja faktor penghambat maksiat itu justru dating karena tirai dari maksiat, maka jika makhluk lain memuliakan anda, tetap saja kembali pada TiraiNya, bukan pada diri anda, baik anda orang yang taat maupun anda orang yang maksiat. Makanya Ibnu Athaillah mengingatkan:
“Siapa pun yang memuliakan anda , sesungguhnya ia telah memuliakan yang ada di dalam dirimu berupa keindahan TiraiNya. Karena itu pujian seharusnya kepada yang menutupi anda, dan pujian bukan pada orang yang memuliakan anda atau bukan kepada yang mengucapkan terimakasih kepada anda.”
Banyak orang balik memuji orang yang memuji anda atau berterimakasih pada anda. Padahal seharusnya pujian itu kepada yang menutupi aib dan kekuarangan anda, yaitu Allah Rabbul Izzah Ta’ala. Karena tanpa tirai tutupnya yang indah pada anda, tak satu pun menghargai dan mengormati anda.
Karena itu ada pepatah Sufi yang indah: “Di sana tak ada lain kecuali karena karuniaNya, dan tak ada kehidupan melainkan karena ada dalam tiraiNya. Jika saja tirai itu dibuka, pastilah terbuka cacat besar yang tiada tara.”
Manusia itu, pada aslinya adalah tempatnya kurang dan cacat. Baik orang tersebut ahli ibadah maupun ahli maksiat. Baik orang itu sedang mendapatkan nikmat atau cobaan.
Maka kita wajib memuji Allah swt, yang menutupi diri kita dengan tutupNya yang indah itu.
0 komentar:
Posting Komentar